watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

BISNIS DENGAN TANTE GIRANG

Jam lima pagi, aku terjaga lagi. Kali ini terasa agak
dingin dihembus kipas angin dari atas. Kuambil
selimut sambil melihat Tante yang masih
berposisi telanjang bongkok udang. Hal ini
menarikku untuk memeluknya dari belakang.
Kutebarkan selimut lebar itu hingga menutupi
tubuh kami berdua. Tangan kiri kusisipkan di
bawah badannya dan tangan kananku
kupelukkan melingkupi dadanya. Pinggulku
kulekatkan ke arah pantatnya, sehingga otomatis
zakarku menempel di situ pula, di sela-sela paha
belakangnya.
Dasar darah mudaku masih panas, sejenak
kemudian burung kecilku sudah jadi ‘garuda’
perkasa yang siap tempur lagi. Kugerak-
gerakkan menusuki sela-sela paha belakang
Tante. Tanganku pun tidak tinggal diam dan
mulai memelintir puting Tante kiri-kanan seraya
meremas-remas gumpalan kenyal itu. Kontan
mendapat perlakuan seperti itu Tanteku
terbangun dan bereaksi.
“Sudah, Ron..! Jangan lagi..!” tubuh Tante
beringsut menjauhiku, namun aku tetap
memeluknya erat.
Bahkan dengkulku sekarang berupaya membuka
pahanya dari belakang. Tante beringsut menjauh
lagi dan kedua tangannya berusaha melepas
pelukanku.
“Jangan, Ron..! Aku ini Tantemu.” rintihnya
sambil tetap membelakangiku.
“Tapi, tadi kita sudah melakukannya, Tante?”
tanyaku tidak mengerti. Pelukanku tetap.
“Ya. Ta.. tadi Tante.. khilaf..”
“Khilaf..? Tapi kita sudah melakukannya sampai
dua kali Tante?” aku tidak habis mengerti.
Kulekatkan lagi zakarku ke pantatnya. Tante
menghindar.
“Ii.. ya, Ron. Tante tadi benar-benar tak mampu..
menahan nafsu.. Tante sudah lama tidak
melakukan ini sejak Oom-mu meninggal. Dan
sekarang kamu merangsang Tante sampai Tante
terlena.”
“Masak terlena sampai dua kali?”
“Yang pertama memang. Tante baru terbangun
setelah.., Roni mem.. memasuki Tante. Tante
mau melawan tapi tenagamu kuat sekali sampai
akhirnya Tante diam dan malah jadi terlena.”
“Kalau yang kedua, Tante..?” tanyaku ingin tahu
sambil mendekap lebih erat. Tante menghindar
dan menepisku lagi.
“Kamu mencium bibir Tante. Di situ lah
kelemahan Tante, Ron. Tante selalu terangsang
kalau berciuman..”
“Oh, kalau begitu Tante kucium saja sekarang
ya..? Biar Tante bernafsu lagi.” pintaku bernafsu
sambil berupaya memalingkan wajah Tante.
Tapi Tante menolak keras.
“Jangan, Ron..! Sudah cukup. Kita jangan
berzinah lagi. Tante merasa berdosa pada Oom-
mu. Hik.. hik.. hik..” Tante terisak.
Aku jadi mengendurkan serangan, meski tetap
memeluknya dari belakang.
Kemudian kami terdiam. Dalam dekapanku
terasa Tante sedang menangis. Tubuhnya
berguncang kecil.
“Ya sudah, Tante. Sekarang kita tidur saja. Tapi
bolehkan Roni memeluk Tante seperti ini..?”
Tidak kuduga Tante justru berbalik
menghadapku sambil membetulkan selimut
kami dan berkata, “Tapi kamu harus janji tak
akan menyetubuhi Tante lagi kan, Ron?”
“Iya, Tante. Aku janji.., anggap saja Tante
sekarang sedang memeluk anak Tante sendiri.”
Sekilas kulihat bibir Tante tersenyum. Di bawah
selimut, aku kembali memeluknya dan
kurasakan tangan Tante juga memelukku. Buah
dada besarnya menekan dadaku, tapi aku
mencoba mematikan nafsuku. Zakarku, meski
menyentuh pahanya, juga kutahan supaya tidak
tegang lagi. Wajah kami berhadap-hadapan
sampai napas Tante terasa menerpa hidungku.
Matanya terpejam, aku pun mencoba tidur.
Mungkin saking lelahnya, dengan cepat Tante
terlelap lagi. Namun lain halnya dengan aku.
Terus terang, meski sudah berjanji, mana bisa
aku mengekang terus nafsu birahiku, terutama si
‘garuda’ kecilku yang sudah mulai mengepakkan
sayapnya lagi. Dengan tempelan buah dada
sebesar itu di dada dan pelukan hangat tubuh
polos menggairahkan begini, mana bisa aku
tidur tenang? Mana bisa aku menahan syahwat?
Jujur saja, aku sudah benar-benar ingin segera
menelentangkan Tante, menusuk dan
memompanya lagi!
Tapi aku sudah janji tidak akan menyetubuhinya
lagi. Mestikah janji ini kuingkari? Apa akal?
Bisakah tidak mengingkari janji tapi tetap dapat
menyebadani Tante? Benakku segera berputar,
dan segera ingat kata-kata Tante tadi bahwa dia
paling mudah terangsang kalau dicium. Mengapa
aku tidak menciumnya saja? Bukankah mencium
tidak sama dengan menyetubuhi?
Ya, pelan tapi pasti kusisipkan kaki kiri di bawah
kaki kanan Tante, sedang kaki kananku
kumasukkan di antara kakinya sehingga keempat
kaki kami saling bertumpang tindih. Aku tidak
perduli zakarku yang sudah jadi tonggak keras
melekat di pahanya. Kurapatkan pelukan dan
dekapanku ke tubuh Tante, wajahku kudekatkan
ke wajahnya dan perlahan bibirku kutautkan
dengan bibirnya.
Lidahku kembali berupaya memasuki rongga
mulutnya yang agak menganga. Aku terus
bertahan dengan posisi erotis ini sambil agak
menekan bagian belakang kepala Tante supaya
pertautan bibir kami tidak lepas. Dan usahaku
ternyata tidak sia-sia. Setelah sekitar 30 menit
kemudian, tubuhku mulai pegal-pegal, kurasakan
gerakan lidah Tante. Serta merta gerakannya
kubalas dengan jilatan lidah juga.
“Emm.. emm.. mm..” desis Tante sambil
membelit lidahku.
Kepalanya kutekan makin kuat dan aku berusaha
menyedot lidahnya hingga masuk ke mulutku.
Kukulum lidahnya dan kupermainkan dengan
lidahku. Kusedot, kusedot dan kusedot terus
sampai Tante agak kesakitan, lalu kubelit-belit lagi
dengan lidahku. Ya, silat lidah ini berlangsung
cukup lama dan ketika tanpa sengaja pahaku
menyenggol vagina tante, terasa agak basah.
Pasti Tante terangsang, pikirku. Tapi aku tidak
mau memulai, takut melanggar janji. Biar Tante
saja yang aktif.
Maka aku pun berusaha menambah daya
rangsang pada diri Tante. Pelan tangan kirinya
kubimbing untuk menggenggam zakarku. Meski
mula-mula enggan, tapi lama kelamaan
digenggamnya juga ‘garuda perkasa’-ku. Bahkan
dipijit-pijit sehingga aku pun menggelinjang
keenakan.
“Shh.. shh..!” desisku sambil mengulum
lidahnya.
Tangan kananku, setelah membimbing tangan
kiri Tante menggenggam zakarku lalu
meneruskan perjalanannya ke celah paha Tante
yang sudah basah. Kusibakkan rambut-rambut
tebal itu, mencari celah-celah lalu menyisipkan
jari telunjuk dan tengahku di situ. Kugerakkan ke
keluar-masuk dan Tante mendesis-desis,
genggamannya di zakarku terasa mengeras. Aku
tidak tahan lagi.
“Masukin ya, Tante?” bisikku, lupa pada janjiku.
“Ja.. jangan, Ron..!”
“Ak.. aku nggak tahan lagi, Tante..!” pintaku.
“Di.. dijepit paha saja ya, Ron..?”
Tanpa kusuruh, Tante lalu telentang dan
mengangkangkan pahanya. Pelan aku
menaikinya. Tante membimbing zakarku di
antara pahanya sekitar sejengkal di bawah
vagina, lalu menjepitnya. Ia menggerak-
gerakkan pahanya sehingga zakarku terpelintir-
pelintir nikmat sekali.
Payudara besar Tante menekan dadaku juga.
Tangan kiriku mengutil-ngutil puting kanannya.
Ciuman ke bibirnya kulanjutkan lagi, jemari
tangan kananku juga terus berupaya memasuki
vagina Tante dan mengocoknya.
“Heshh.. heshh.. Ron.. mm..,” Tante sulit bicara
karena mulutnya masih kukulum.
“Tanganmu.. Ron..!” tangan kanan Tante
berusaha menghentikan kegiatan tangan kiriku di
putingnya, sedang tangan kanannya berusaha
menghentikan kegiatan jemari kananku di
vaginanya.
Dipegangnya jemariku. Aku hentikan gerakan,
tapi tiga jari tetap terendam di vagina basah itu
dan kukutil-kutil kecil. Sampai Tante tidak tahan
dan mengangkangkan sedikit pahanya hingga
jepitan pada zakarku terlepas. Cepat kutarik
jemariku dari situ dan kunaikkan sedikit tubuhku
sehingga sekarang ganti zakarku berada di pintu
gerbang nikmat itu. Kepalanya malah sudah
menyeruak masuk.
“Hshh.. Ron, jangan dimasukkan..!” Tante buru-
buru memegang zakarku, digenggamnya.
“Tapi aku sudah nggak tahan Tante..” desisku.
“Cukup kepalanya saja, Ron.. dan jangan
dikocok..!” Tante memperketat genggamannya,
sementara aku semakin memperderas tekanan
ke vaginanya.
“Ii.. ingat janjimu, Ron..!”
“Ta.. tapi Tante juga ingin kan?” tanyaku polos.
“Ii.. iya sih, Ron. Tante juga sudah nggak tahan.
Tapi ini zinah namanya.”
“Apa kalau tidak dimasukkan bukan zinah,
Tante?” tanyaku bloon.
“Bu.. bukan, Ron. Asal burungmu tidak masuk
ke vagina Tante, bukan zinah..” aku jadi bingung.
Terus terang tidak mengerti definisi zinah
menurut Tante ini.
“Kalau begitu, apa Tante punya jalan keluar? Kita
sudah sama-sama terangsang berat. Tapi kita
nggak mau berzinah.”
“Egh.. gini aja Ron. Tante akan.. ugh..
mengulum punyamu. Turunlah sebentar..!”
Dan aku pun menurut, turun dari atas Tante dan
telentang. Tante bangkit lalu memutar badannya
dan mengangkangiku. Mulutnya ada di atas
zakarku dan vaginanya di atas wajahku.
Kurasakan ia mulai menggenggam dan
mengulum ‘garuda perkasa’-ku. Dikulum dan
digerakkan naik turun di mulutnya.
Shiit.. hsshh.. nikmat sekali. Jemariku segera
menangkap pinggulnya yang bergerak maju
mundur dan segera kuselipkan empat jari kanan
ke vaginanya. Kugerakkan cepat, malah agak
kasar, keluar masuk sampai basah semua.
“Ugh.. uughh.. uagh.. Ron..! Ron, Tante mau
keluar, mm.. mm..” Tante terus mengulum
sambil meracau.
Sekejap kemudian tubuhnya berhenti bergerak,
lalu pinggul yang kupegangi terasa berkejat-
kejat. Kemudian cairan hangat membanjiri
tanganku dan sebagian menetesi dadaku.
Kurasakan cairan itu seperti air maniku hanya
lebih encer dan bening.
Tante kemudian terkapar kelelahan di atasku
dengan posisi mulutnya tetap mengulum
zakarku sambil mengocoknya. Tidak berapa
lama, aku pun merasa mau keluar.
“Egh.. egh.. Tante. Aku mau keluar..!” Tante
malah mempercepat kocokannya dan
memperdalam kulumannya.
Aku berkejat dan muncrat memasuki mulut
Tante dan ditelannya, semuanya habis
ditampung mulut Tante. Akhirnya aku pun
lemas dan ikut menggelepar kelelahan.
Tangan-kakiku terkapar lemas ke kiri-kanan.
Tante juga terkapar kelelahan namun mulutnya
masih terus menjilati zakarku sampai bersih,
barulah kemudian dia berbalik dan memelukku.
Wajah kami berhadapan, mata Tante merem-
melek.
“Kalau yang barusan ini bukan zinah tante?”
tanyaku lagi.
“Bukan, Ron.. karena kamu tidak memasukkan
burungmu ke vagina Tante.” jawabnya sambil
mata memejam.
Aku tidak tahu apakah jawabnya itu benar atau
salah. Namun, setelah kupikir-pikir, aku lalu
bertanya lagi, “Jadi kalau begitu, boleh dong kita
melakukan lagi seperti yang barusan ini, Tante?”
“He-eh..” jawabnya sambil terkantuk-kantuk
kemudian dengkur kecilnya mulai terdengar lagi.
Jam enam pagi waktu itu. Aku pun segera
menebarkan selimut lagi di atas tubuh polos
kami dan memeluknya dengan ketat. Rasanya
aku tidak mau melepaskan tubuh Tante walau
sekejap pun. Persetan dengan pekerjaan,
persetan dengan kuliah. Sengaja aku juga tidak
mengingatkan Tante akan pekerjaan kami. Aku
malah berharap menginap lagi semalam, biar
ada kesempatan bersebadan dengan Tante lebih
lama lagi. Sepanjang hari ini aku mau bercumbu
terus dengan Tante, sampai spermaku keluar
sepuluh kali lagi! Begitu angan-angan jorokku.
Ya, akhirnya memang kami hari itu tidak keluar
kamar dan memperpanjang menginap sehari
lagi. Selama di dalam kamar, di atas ranjang,
kami tidak pernah mengenakan pakaian barang
selembar pun. Hampir setiap tiga jam sekali aku
dan Tante sama-sama mengalami orgasme,
meskipun hanya pakai bantuan tangan atau
mulut dan lidah.
Jam delapan pagi, sebelas, dua siang, lima sore,
delapan malam, sebelas malam, dua pagi, lima
pagi dan delapan paginya lagi kami selalu
terkejat-kejat dan orgasme hampir bersamaan.
Selama itu memang Tante masih selalu ingat
untuk menolakku yang ingin memasukkan
penisku ke vaginanya, dan aku pun
menurutinya.
Namun, akhirnya Tante terlena dan aku pun
bebas memasukkan penisku ke vaginanya.
Tentunya setelah kami pulang dari perjalanan
bisnis berkesan itu, dan kembali pulang ke
rumah. Kesempatan itu terbuka lebar karena
memang aku suka tinggal di rumahnya.


Adult | GO HOME | Exit
1/1088
U-ON

inc Powered by Xtgem.com